Masa Kadaluarsa

Dokomen terkait dengan masalah pajak dibawah tahun 2007, masa kadaluarsanya epuluh tahun harus di simpan rapi jika dikemudian hari ada pemeriksaan tidak ada alasan tidak ada; Tapi untuk kewajiban pajak mulai tahun 2007 dan seterusnya, cukup lima tahun masa kadaluarsanya.

Oleh karenanya, simpanlah dengan baik dokumen terkait dengan pajak yang dilaporan pada SPt Tahuan ke KPP setempat terutama berupa bukti-bukti pendukung seperti:
  • Bukti transaksi kas dan setara kas
  • Buku besar
  • SPt masa, Faktur pajak

Jangan pernah abaikan bukti-bukti tersebut karena jika terjadi pemeriksaan, kita akan berpacu dengan waktu, semakin cepat kita bisa menunjukkan bukti-bukti terkait tentunya akan semakin banyak waktu untuk dapat membangun komunikasi dengan fiskus sehingga setiap masalah yang timbul bisa segera diantisipasi; Sebaliknya jika bukti-buktinya lambat untuk kita bisa sampaikan, maka ruang waktu untuk menunjukkan kebenaran atas setiap transaksi yang dilaporkan semakin sempit karena fiskus relatif terbatas dalam setiap proses pemeriksaan dan atau dibatasi dengan jadwal yang sudah menjadi aturan baku.



Petugas Pajak Jujur

BERITA tentang GAYUS memperkuat citra pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) semakin buruk dimata masyarakat, kondisi ini tidak dipungkiri sebatas yang Saya pribadi ketahui pun memang tidak sedikit oknum-oknum pegawai DJP gagah berani mempreteli Wajib Pajak.

Persoalan oknum DJP tidak terlepas dari masalah WP itu sendiri karena oknum DJP berani beraksi pada umumnya bermula dari kesalahan WP , terlepas disengaja atau tidak, adakalanya WP beruha menghidanri kewajiban perpajakan dengan berbagai macam cara.

Kondisi inilah seringkali dijadikan media main mata antara DJP dan WP yang tidak perlu Saya uraikan lebih lanjut; Pada akhirnya terjadilah perselingkuhan kepada insstitusi DJP secara lembaga.

Namun demikian, tidak semua pegawai DJP sebusuk GAYUS, karena dilapangan Saya juga seringkali menemukan pegawai-pegawai DJP sepertinya soleh/solehah, diantaranya ketika Saya membantu WP mengurus dokumen pajak, karena dokumen pajak tersebut sifatnya tidak mempengaruhi kebijakan pajak yang berdampak pada kerugian negara; Sudah menjadi budaya timur, Saya mencoba memberi tanda terima kasih kepada pegawai DJP tapi pegawai yang bersangkutan MENOLAK pemberian itu bukan karena kurang BESAR, Saya percaya iru adalah diantara pegawai DJP harapan kita saat ini serta kedepan


Akibar Harta Tidak Dilaporkan Pada SPT Tahunan

Sekitar tahun 2005, Saya diminta oleh sebuah Kantor Akuntan Publik di Bekasi untuk mendampingi klientnya WP Orang Pribadi dalam menghadapi proses pemeriksaan.

Pemeriksaan terjadi di karenakan menurut temuan fiskus, terdapat daftar harta yang tidak dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh OP dan dari daftar temuan tersebut ketika Saya konfirmasi ke WP mengakui sebagian besar adalah benar harta miliknya.

Berdasarkan hasil temuan tersebut, Fiskus mengganjar WP dengan estimasi pajak relatif cukup besar dan tentu hal ini sangat mengejutkan, terutama bagi WP hanya karena masalah daftar harta tidak di laporkan dalam SPT Tahunan dihadapkan dengan persoalan se-serius itu.

Menurut pengakuan WP kepada Saya, dirinya tidak bermaksud untuk tidak melaporkan, WP yang bersangkutan menyerahkan urusan mengisi dan melaporkan SPT Tahunan kepada sekretarisnya dan nampaknya sekretarisnya selain kurang memahami masalah pajak juga bermaksud menghilangkan jejak dari Direktorat Jenderal Pajak mungkin ada kehawatiran jika dilaporkan timbul persoalan yang bisa memberatkan BigBOSnya. Sebuah persepsi yang Saya fikir KELIRU.

Karena Saya ditugaskan untuk mendampingi dan membantu WP, maka Saya coba bicarakan dengan fiskus kronologis permasalahannya, serta mencarikan jalan keluar terbaik yang pada intinya:
  1. WP tidak ada niatan untuk tidak melaporkan
  2. Daftar harta hasil temuan Fiskus sekalipun benar atas nama WP, tapi tidak sedikit yang sudah di hibahkan bagi kegiatan peribadatan
  3. Beberapa alasan lainnya.
Pada akhirnya, proses pemeriksaan tersebut ditutup dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang relatif lebih terjangkau dan wajar serta dapat diterima oleh WP dengan menyadari sepenuhnya sebagai reesiko dari sebuah tindakan salah sekalipun kesalahan itu terjadi karena ketidak tahuan.

Pengalaman ini semoga menjadi perhatian kita untuk kiranya melaporkan daftar harta yang kita miliki pada sat mengisi SPT Tahunan, baik PPh Orang Pribadi mapun PPh Badan karena jika tidak dilaporkan dianggap sebagai harta temuan dan pengakuan atas harta temuan di nilai sebagai penghasilan kena pajak.




Gambaran Umum PPh dan PPN

Pajak

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Sejarah Pajak Penghasilan

Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi. Pengenaan pajak pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar pengenaan pajak adalah " a person's faculty, personal faculties and abilitites", Pada tahun 1646 di Massachusett dasar pengenaan pajak didasarkan pada "returns and gain". “Tersonal faculty and abilities" secara implisit adalah pengenaan pajak pengahasilan atas orang pribadi, sedangkan "Returns and gain" berkonotasi pada pajak penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform, terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860-an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962.

Pajak Penghasilan di Indonesia

Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.

Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu. Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan Yang Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.

Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Psnibahan dan Penyempurnaan Tatacara Pcmungiitan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan "tax holiday".

Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya tax reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.

Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Saja.

Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia.

PPh Pasal 21

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan/ jabatan, jasa, dan kegiatan.

Pemberi kerja terdiri dari orang pribadi dan badan, termasuk bentuk usaha tetap, baik merupakan induk maupun cabang, perwakilan atau unit, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun sehubungan dengan pekerjaan/ jabatan, jasa, dan kegiatan; Dana pensiun, PT Taspen, PT Astek, badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) lainnya, serta badan-badan lain yang membayar uang pensiun, Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua (THT); Perusahaan, badan termasuk bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas; Yayasan (termasuk yayasan di bidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan , kesenian, olah raga, kebudayaan), lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, dan organisasi dalam bentuk apa pun dalam segala bidang kegiatan sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan nama apa pun sehubungan dengan pekerjaan/jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi; Perusahaan, badan termasuk bentuk usaha tetap, yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan.

Pegawai tetap, yaitu : Orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung. Pegawai lepas, yaitu : Orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja. Penerima pensiun, yaitu : Orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk yang menerima Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua. Penerima honorariun, yaitu : Orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya. Penerima upah, yaitu : Orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan.

PPh Pasal 22

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah PPh yang dipungut oleh : Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang; Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.

Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang; Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah Pusat/Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang; BUMN/D, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang dari belanja negara dan/atau belanja daerah; Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri; Pertamina dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas, atas penjualan hasil produksinya; Badan Urusan Logistik (Bulog), atas penyerahan gula pasir dan tepung terigu

PPh Pasal 23

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Pemotong PPh Pasal 23 adalah : Badan pemerintah; Subjek pajak badan dalam negeri; Penyelenggara kegiatan; Bentuk usaha tetap (BUT); Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya; Orang pribadi sebagai Wajib Pajak (WP) dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai Pemotong PPh Pasal 23, yaitu : Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas; Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan, atas pembayaran berupa sewa

Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.

Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.

Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000.

 
 
 
 
Copyright © WAJIB PAJAK